Rivalitas Supporter Sepakbola di Indonesia Fanatisme yang melupakan Semangat Sportifitas

Tidak ada yang salah dari fanatisme terhadap salahsatu klub sepakbola. Dukungan supporter dengan cara-caranya tersendiri terhadap tim kesayangannya adalah hal yang lumrah dalam dunia sepakbola baik nasional maupun internasional. Loyalitas yang berdampingan dengan fanatisme supporter-supporter di tanah air telah menjadi “bumbu-bumbu penyedap” disetiap perhelatan sepakbola di tanah air. Tak jarang hal ini memancing perhatian insan-insan sepakbola internasional yang melihat antusiasme dan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap dunia sepakbola sebagai hal yang luar biasa.
 
Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia dapat dikatakan sejajar dengan supporter-supporter di liga-liga internasional. Bahkan Franz Beckenbeuer terkaget-kaget melihat Fanatisme, antusiasme, dan loyalitas para supporter di Indonesia (Kita dapat melihat bahwa Indonesia sebagai negara yang berada di wilayah Asia Tenggara, memiliki atmosfir sepakbola yang bagus dilihat dari sudut antusiasme penonton di setiap perhelatan sepakbola).
 
Sayangnya atmosfir sepakbola yang bagus ini tidak didukung oleh jiwa sportifitas baik dari kalangan penyelenggara sepakbola, insan-insan yang terlibat langsung dalam sebuah pertandingan sepakbola dan pemain keduabelas dari sebuah tim sepakbola a.k.a Supporter. Pernyataan ini bukan tanpa bukti, peristiwa-peristiwa seperti kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian baik diluar maupun di dalam sebuah pertandingan kerap terjadi.  Kepemimpinan wasit, ketidaksiapan Panpel (baik masalah tiket ataupun kenyamanan selama menonton pertandingan) dan ulah sejumlah oknum dalam memprovokasi keributan adalah contoh-contoh penyulut dari hal tersebut. Dapat digarisbawahi bahwa mental sportifitas rasanya belum sikron dengan fanatisme insan-insan sepakbola di Indonesia. 
 
Satu hal lagi yang paling sering menyulut kerusuhan, bentrokan, atau perkelahian dalam dunia sepakbola di Indonesia adalah masalah rivalitas diantara klub-klub sepakbola. Sebetulnya tidak ada yang salah mengenai rivalitas antara klub-klub sepakbola asal dalam koridor sportifitas. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sulit menghindari gesekan-gesekan antar supporter dalam rivalitas tidak hanya di Indonesia di dunia internasional pun hal ini kerap terjadi. Namun, supporter-supporter di luar sana mungkin bisa mensinkronisasikan antara fanatisme dengan sportifitas sehingga fanatisme mereka tidak jatuh dalam fanatisme yang sempit. Mereka sedikitnya masih bisa menerima perbedaan, bisa duduk berdampingan dalam sebuah pertandingan dengan warna yang berbeda. Itulah yang tidak dimiliki oleh sebagian jiwa-jiwa fanatisme di Indonesia. 
 
Jiwa-jiwa fanatisme sepakbola di Indonesia telah jatuh  kedalam jurang fanatisme yang sempit sehingga mereka sangat sulit menerima perbedaan, mereka telah dibutakan oleh kebencian terhadap rivalnya dan lebih parahnya budaya-budaya seperti ini telah menyebar kepada generasi-generasi baru supporter di Indonesia (Liat saja anak-anak kecil yang sudah bisa menyanyikan yel-yel kebencian terhadap salah satu klub di Indonesia, padahal apakah sebenarnya mereka mengerti??).
 
Jiwa-jiwa fanatisme sempit ini kemudian menjelma menajadi sebuah komunitas yang khusus menebarkan kebencian-kebencian terhadap rival mereka atau yang lebih dikenal dengan sebutan Divisi Propaganda dari sebuah komunitas supporter (Mungkin mereka mengikuti jejak Hitler ketika mempropagandakan Fasisme heheheheh). Mereka dapat dibilang sangat pintar dalam menyebarkan propaganda-propaganda yang secara garis besar menyangkut rivalitas. Hal tersebut ditunjang dengan media internet yang sekarang menjadi mudah untuk diakses masyarakat sehingga mereka lebih leluasa dalam melancarkan aksinya.
 
Dilihat dari segi psikologis, faktor-faktor seperti kebencian-kebencian yang berlebihan, sakit hati atas tindakan-tindakan rival mereka dan egosentris yang menguasai pikiran mungkin menjadi latar belakang mereka bersatu membentuk sebuah divisi propaganda tersebut. Dilain pihak keberadaan suatu divisi propaganda sebuah supporter juga pastinya akan memicu kemunculan divisi propaganda dari supporter-supporter yang lain dan pada akhirnya adu propaganda pun tak dapat dihindarkan.
 
Hasil dari propaganda-propaganda tersebut dapat dilihat dari nyanyian atau yel-yel ketika sebuah tim bertanding, nada-nada hinaan terhadap klub rival lebih sering terdengar dibandingkan dengan nyanyian atau yel-yel untuk menyemangati pemain ketika bertarung di lapangan.  Atribut-atribut seperti baju dan atribut lain yang bernada hinaan terhadap klub rival juga semakin tersebar luas di masyarakat. Bahkan untuk ukuran anak kecil pun ada, lebih parah pembuatan atribut-atribut yang mengandung unsur rivalitas tidak hanyan diproduksi oleh divisi propaganda saja, produsen-produsen yang hanya memikirkan segi komersil pun ikut meramaikan atribut-atribut yang berbau rivalitas (secara tidak langsung para pedagang-pedagang atribut pun menjelma sebagai divisi propaganda dadakan).
 
X      :  Kok Jadi Ngebahas Divisi Propaganda dari komunitas supporter sih??
Y    : Hehheheh Maaf, jadi melebar kemana-mana bahasannya, soalnya penting juga sih. Nyambung dikitlah sama fanatisme. Oke deh dibagian selanjutnya bakal dibahas   masalah jiwa  sportifitasnya.

 
Nah sekarang kita angkat masalah sportifitas dalam sepakbola Indonesia terutama sportifitas supporter tim yang mereka bela. Atmosfir sepakbola di Indonesia jika dilihat dari segi antusiasme penonton memang sangat membanggakan (saya pun bangga sebagai salahsatu penikmat sepakbola melihat situasi tersebut), namun, jika dilihat dari segi mental dan sportifitas bertanding atmosfir sepakbola di Indonesia cukup memprihatinkan.
Mengapa dibilang memprihatinkan???

Kita sekarang berbicara  statistic pertandingan sepakbola di ajang ISL, seberapa persen tim tuan rumah yang kalah di homebase nya?, seberapa besar persen tim yang bertamu ke kandang lawan bisa meraih kemenangan? Dan seberapa persen supporter yang bertindak anarkis jika tim nya kalah terlebih di homebase nya sendiri?

Anda pasti sudah bisa menebaknya sendiri. Yaa hampir 90% tim yang bermain di homebase meraih angka 3 atau paling minim 1 poin, sedangkan hanya sekitar 10% tim yang bisa meraih kemenangan di kandang lawan. Bagaimana dengan supporter yang mengamuk jika timnya kalah??? Anda pasti sudah tahu kan hehehehe. Nah persentase-persentase ini bukan hanya angka-angka yang mati jika kita interpretasi lebih jauh, angka-angka persentase ini memiliki clue-clue yang menunjukan rendahnya jiwa sportifitas dari insane-insan sepakbola nasional.

Kita mulai interpretasi angka-angka tersebut. 90% kemenangan tim yang bermain di homebasenya kadang dibumbui kecurangan-kecurangan (dengan kata lain tindakan tidak sportif dari official tim tuan rumah). Saya garis bawahi kata “Kadang” karena ini bukan generaliasasi terhadap semua tim tuan rumah. Ada beberapa tim yang jika bermain di kandang belum bisa bermain sportif yang kadang memunculkan wacana mafia pertandingan yang munkin bisa berbentuk suap kepada pengadil pertandingan (wasit) atau dengan hal yang lain. Mentalitas tuan rumah yang belum siap menerima kekalahan di kandang nampaknya masih membudaya di sepakbola Indonesia. Alasan nama baik daerah dan harga diri mungkin ada dibalik itu semua. Namun apakah layak jika harga diri dan nama baik itu diraih dengan cara-cara yang tidak sportif?? Inilah cerminan sepakbola kita yang masih jauh dari kata Fair Play Football (Buat apa setiap pertandingan kita selalu dengarkan Fair Play Anthem klo Cuma dijadikan symbol belaka).

Mental “belum siap kalah” juga merembet hingga supporter, sebagian supporter di Indonesia kadang meluapkan kekesalannya dengan bertindak anarkis jika tim nya kalah di kandang sendiri. Wajar mungkin supporter-supporter kesal jika melihat tim kesayangannya kalah karena mereka berfikir buat apa jauh-jauh datang ke stadion dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk menyaksikan tim nya kalah. Tapi sayangnya hal tersebut diluapkan ke hal-hal yang kadang lebih cenderung ke arah negatif.  Setidaknya mereka memberikan apresiasi yang positif berupa dorongan moral atau apalah ketika tim sedang underperform. Toh mereka juga sudah berusaha dilapangan untuk menang (katanya fanatic dan loyal, tapi kok klo timnya kalah ngamuk-ngamuk sih)

Namun, untungnya masih ada sebagian supporter yang berjiwa besar, dan memiliki mental dewasa sebagi supporter ketika tim kesayangannya kalah. Mereka lebih menghargai usaha tim kesayangannya bertanding disaat kalah apalagi ketika meraih kemenangan. Seharusnya mental seperti inilah yang perlu dibudayakan, dibanding dengan membudayakan tindakan tidak sportif seperti di atas.

Lalu persentasi 10 % tim tamu hanya bisa minimal bermain imbang atau malah kalah adalah mental tim-tim sepakbola Indonesia yang masih belum bisa sepenuhnya bermental “jago kandang”. Saya sempat bingung mengapa sangat sulit sebuah tim untuk meraih poin di kandang lawan, apa ada yang salah, ato apa memang jika sebuah tim main dikandang mereka berubah menjadi tim yang ganas. Ternyata setelah saya lihat, mungkin masalahnya terletak di mental bertanding ditambah factor-faktor non tehnis seperti stamina (kita tahu bahwa ketika melakoni laga tandang stamina pemain dikuras oleh perjalanan yang panjang karena kita tahu bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan yang sanagt luas sehingga perjalanan menuju kandang lawan menjadi factor penting juga) factor noon tohnis lainnya ya seperti diungkapkan pada poin sebelumnya yaitu adanya tindakan-tindakan non-sportif dari tim tuan rumah demi meraih kemenangan.

Itulah wajah sepakbola yang kurang baik dari atmosfir sepakbola kita. Semoga hal ini semakin berkurang dengan usaha dari Komdis, Official yang sadar, dan supporter kita yang tidak hanya memikirkan kemenangan namun lebih jauh memajukan sepakbola Indonesia di masa yang akan datang.

SEMOGA KITA AKAN LEBIH SADAR AKAN FANATISME YANG BERLEBIHAN ITU BURUK. PERBEDAAN BUKAN UNTUK PERMUSUHAN. MAJU TERUS SEPAKBOLA INDONESIA.
TETAP SPORTIF BERMAIN BOLA!!!!!!!!!!!!!!!

PANJANG JUGA JIKA DITULIS DI BAGIAN INI, BISA-BISA ISINYA MALAH JAUH DARI JUDUL LAGI NANTI HAHAHAHAHAH.
DILANJUT DI BAGIAN LAIN YAA HEHEHEHEHE

Andaikan Mayoritas Klub-klub ISL tidak mengandalkan dana APBD lagi


Angan-angan ingin melihat liga yang murni Profesional dari semua unsur mungkin bukan mimpi saya saja. Pastinya seluruh masyarakat juga menginginkan hal tersebut. Kata Profesional disini mungkin diawali dengan  manajemen klub dimana dalam segi pendanaan sudah melepaskan diri dari kucuran dana pemerintah daerah (APBD). Memang, beberapa klub di ISL sudah lepas sepenuhnya dari kucuran dana APBD seperti Arema Indonesia, Pelita Jaya, Persib Bandung, Sriwijaya FC dan Bontang FC. Namun, jika kita berangan-angan seluruh klub di Indonesia sudah lepas dari dana APBD, tak terbayangkan kemajuan apa yang nanti akan dialami oleh sepakbola Indonesia.

Memang apa masalah jika sebuah tim mendapat kucuran dana dari APBD???

Menurut saya ada beberapa efek buruk yang terdapat dalam kasus kucuran dana APBD kepada sebuah tim di ISL. APBD merupakan dana dari pemerintah yang tidak lain adalah uang rakyat dari daerah tersebut. Otomatis sebuah tim yang dikucuri dana APBD membawa nama daerah dalam perhelatan ISL dan bermuatan politik daerah. Apa maksudnya politik daerah?? dalam hal ini Politik daerah menyangkut nama baik daerah, wibawa pemerintah daerah dan lain-lain.

Disinilah terdapat celah-celah persaingan antar daerah yang mempertaruhkan nama pemerintah daerah. Persaingan antar daerah yang bermuatan politik inilah yang berbahaya, tak bisa dipungkiri dan sering juga terdengar ada isu-isu mafia pertandingan demi menjaga martabat pemerintah daerah yang diwakili oleh sebuah klub sepakbola.

Mental dan tindakan yang sangat tidak sportif ini lah yang kadang masih dipelihara oleh beberapa insan-insan persepakbolaan nasional. Lebih parah lagi, hal ini bukan terjadi pada cabang olahraga sepakbola saja, kita juga dapat melihat kecurangan-kecurangan dalam olahraga atau event-event nasional lainnya.

Nah, andaikata sebuah klub terlepas dari dana APBD, mafia-madia pertandingan seperti disebutkan diatas mungkin dapat diminimalisir. Mengapa? ya tentu saja karena mereka sekarang sudah menuju industri sepakbola dengan manajemen yang lebih profesional. Sebuah klub akan melakukan pertandingan bukan lagi atas embel-embel membawa nama baik daerah melainkan bermain demi profesionalisme dan prestige tim itu sendiri bukan untuk orang-orang atau lembaga-lembaga diluar tim (kecuali sponsor dan unsur-unsur swasta lainnya).

Sebuah klub yang profesional juga akan benar-benar memikirkan masa depan tim tersebut. Misalkan tidak "asal comot" ketika membeli pemain, kontrak pemain yang sesuai dengan standar profesional yang tentu saja ini akan berpengaruh terhadap permainan sebuah klub di lapangan. Hampir semua klub-klub di Indonesia masih mengandalkan agen-agen untuk memasok pemain sepakbola, jarang terdengar pemandu-pemandu bakat (scout) mencari bibit-bibit pesebakbola handal. Ditambah lagi kadang-kadang agen-agen ini menawarkan seorang peman yang asal-asalan kepada sebuah klub yang kadang-kadang tidak bermental pesepakbola. Kita dapat lihat bagaimana penyebaran pemain asing di Indonesia yang kadang-kadang bermain buruk terlebih dengan mental dan attitude yang tidak mencerminkan pesepakbola profesional. Lain ceritanya jika klub sepakbola tersebut memuat manajemen yang profesional.Mereka pasti akan lebih meimilih mana pemain yang mampu atau cocok bermain di klub tersebut dan mana yang tidak. 

Semoga kelak, mimpi-mipi ini dapat menjadi kenyataan. Ingin rasanya melihat Indonesia memiliki Liga sepakbola yang enak untuk ditontn dan mampu berbicara di level Internasional.

Menanggapi pemukulan oleh pemain salahsatu klub di ISL terhadap salah satu supporter


Satu lagi berita yang sedang hangat di belantika sepakbola Indonesia adalah kabar pemukulan oleh sejumlah pemain sepakbola terhadap salahsatu suporter rival dari klub yang bersangkutan (Tidak perlu Menyebutkan pihak-pihak yang berkaitan, hal tersebut hanya akan meperuncing permasalahan diantara suporter kedua klub yang berselisih). Hal ini kemudian dimuat dalam Harian umum Pikiran Rakyat yang secara garis besar berisi pembelaan dari pihak yang disangka melakukan pemukulan.

Belum banyak fakta-fakta yang terungkap mengenai peristiwa yang dapat menyulut emosi suporter - dalam hal ini supporter yang menjadi korban pemukulan. Daripada mengurusi siapa yang salah dan siapa yang benar, lebih baik mereka introspeksi diri baik sebagi supporter maupun sebagai pemain bola (yang katanya profesional). Disatu pihak pemain bola profesional setidakanya memiliki jiwa besar terhadap apa yang diucapkan oleh para supporter ketika melihat aksi mereka dilapangan, anggap saja itu sebagai masukan (walaupun kadang pahit) dibandingkan dengan melakukan pemukulan yang berakibat buruk terhadap masa depan mereka sendiri. Di lain pihak, supporter juga seharusnya mawas diri bahwa perkataan-perkataan yang mengandung unsur hinaan adalah perbuatan yang tidak menyenangkan, mereka juga perlu sadar bahwa bermain sepakbola bukan lah hal yang mudah.

Attitude-attitude seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh semua insan-insan sepakbola di Indonesia. Jangan hanya pandai menghina, menganiaya dan berbuat rusuh. Bagi pemain sepakbola berikanlah tontotan yang menarik kepada penonton. Disisi lain, penonton pun setidaknya memberikan apresiasi positif, bukan dengan cacian atau makian.

Batu-batu kerikil seperti inilah yang menghambat laju perkembangan sepakbola Indonesia di tanah air. Seharusnya kita lebih mawas diri, memikirkan masa depan sepakbola Indonesia, karena Indonesia memilik potensi sepakbola yang luar biasa jika dikembangkan lebih jauh.

Ayo insan-insan sepakbola Indonesia, buktikan kalian bukan perusuh, kalian adalah seniman di lapangan dan diluar lapangan. 

Football Soccer Wallpapers

Netherland National Team

Denmark National Team

German National Team

Greece National Team

Italy National Team

Serbian National Team

Pengaruh Jejaring Sosial dan Divisi Propaganda Supporter Terhadap Rivalitas klub di Indonesia

Tidak ada yang meragukan lagi fanatisme dan antusiasme masyarakat terhadap dunia sepakbola. Sepakbola sebagai olahraga nomer satu di planet bumi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak mengenal usia baik tua maupun muda sebagian besar ambil bagian dalam dunia sepakbola baik secara aktif maupun pasif.

Namun, Fanatisme dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola seringkali diapresiasikan dengan tindakan tidak sportif atau dengan kata lain fanatisme ini berujun terhadap tindakan-tindakan perusakan dan kerusuhan serta bentrokan antar supporter. Memang bukan hanya di Indonesia hal ini terjadi, di luar Indonesia pun sering terjadi bentrokan-bentrokan antar supporter yang disebabkan oleh rivalitas klub yang mereka dukung. Contoh kecil misalkan rivalitas Boca Junior dan River Plate di Argentina, West Ham United dan Milwall di Inggris, Roma dan Lazio di Italia, atau Barcelona dan Espanyol di Spanyol.

Di Indonesia sendiri beberapa tim terdapat rivalitas anar tim contohnya Persib dengan Persija dan Persebaya dengan Arema. Empat klub yang memiliki sejarah panjang dalam belantika sepakbola nasional dengan supporter-supporter fanatik mereka. Empat gelombang besar inilah yang sering kia dengar di berbagai media dengan isu-isu miring mengenai rivalitas ke empatnya.Tak jarang terdengar saling serang antar supporter keempat belah pihak.

Lalu apa pengaruh jejaring sosial dan divisi propaganda supporter terhadap rivalitas klub di Indonesia?

Saya memperhatikan pengaruh jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya sangat berpengaruh terhadap rivalitas antar klub. Pastinya terdapat segi positif dan negatif dari hal tersebut. Segi positif mungkin dapat dilihat dari usaha berbagai orang yang sadar untuk membina hubungan baik antar klub seperti membuat sebuah grup-grup supporter yang mengusung ide  "rivalitas namun tetap sportif" beberapa diantaranya seperti Indonesian Supportes Group 4 angel ( Aremania, Bonek, The jack, Viking)




Namun bagi mereka yang terjebak kedalam fanatisme sempit, Jejaring Sosial adalahmedia yang tepat untuk menyebarkan lebuh luas kebencian-kebencian dan propaganda-propaganda gelap tentang salahsatu im yang mereka benci (Tidak perlu saya sebutkan contohnya karena malah akan menambah suram citra supporter indonesia).

Saling serang dan saling ejek di jejaring sosial makin hari makin memburuk ditambah propaganda-propaganda kebencian terhadap salahsatu tim makin menjadi. Bagi mereka yang baru masuk dan baru terjun kedunia supporter salahsatu klub otomatis akan ikut terbawa-bawa oleh propaganda-propaganda gelap yang tersebar di dunia jejaraing sosial ini. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak kecil sekarang sudah mulai terkontaminasi dengan nyanyian-nyanyian yang berisikan ejekan terhadap salah satu tim sepakbola di Indonesia. PAdahal apakah mereka tau asal mula rivalitas kedua tim tersebut? atau apakah mereka tau keadaan sebenarnya di lapangan mengenai rivalitas kedua tim tersebut (saya yakin 99% dari mereka hanyalaj ikut-ikutan saja). Dan pada akhirnya ketika mereka beranjak dewasa walaupun mereka memiliki fanatisme terhadap tim yang mereka bela, mereka akan jatuh kepada fanatisme yang sempit yang makin memperpanjang citra buruk supporter elite di Indonesia.

Itulah salahsatu contoh kecil berbahayanya Divisi-divisi Propaganda sebuah tim dan efek buruk dari jejaring sosial bagi tindakan sprotifitas para supporter di Indonesia. Apakah mereka tidak berpikir akan kelangsungan dan masadepan sepakbola di Indonesia. 

Disaat negara tetangga mulai berkembang lewat dunia Sepakbola, kita masih jalan ditempat mengurusi kerusuhan-kerusuhan antar supporter.

GROW UP MAN!!!!!!!!!!!!!!

DEMI SEPAKBOLA INDONESIA YANG LEBIH BAIK, SADARLAH BAHWA FANATISME SEMPIT ITU AKAN MEMBUNUH SEPAKBOLA INDONESIA.

RIVALITAS BOLEH ADA TAPI TETAP JUNJUNG TINGGI NILAI SPORTIFITAS



Sejarah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI

 •  Sekilas Tentang PSSI

PSSI (Persatuan Sepakbola seluruh Indonesia ) yang dibentuk 19 April 1930 di Yogyakarta. Sebagai organisasi olahraga yang dilahirkan di Zaman penjajahan Belanda, Kelahiran PSSI betapapun terkait dengan kegiatan politik menentang penjajahan. Jika meneliti dan menganalisa saat- saat sebelum, selama dan sesudah kelahirannya, sampai 5 tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, jelas sekali bahwa PSSI lahir, karena dibidani politisi bangsa yang baik secara langsung maupun tidak, menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih – benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia.

•  Awal Mula Berdirinya PSSI
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Beliau menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali ke tanah air Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda “Sizten en Lausada” yang berpusat di Yogyakarta. Disana ia merupakan satu – satunya orang Indonesia yang duduk dalam jajaran petinggi perusahaan konstruksi yang besar itu. Akan tetapi, didorong oleh jiwa nasionalis yang tinggi Soeratin mundur dari perusahaan tersebut.
Setelah berhenti dari “Sizten en Lausada” ia lebih banyak aktif di bidang pergerakan, dan sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepakbola, Soeratin menyadari sepenuhnya untuk mengimplementasikan apa yang sudah diputuskan dalam pertemuan para pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) Soeratin melihat sepakbola sebagai wahana terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda, sebagai tindakan menentang Belanda.

Untuk melaksanakan cita – citanya itu, Soeratin mengadakan pertemuan demi pertemuan dengan tokoh – tokoh sepakbola di Solo, Yogyakarta dan Bandung . Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian ketika diadakannya pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta dengan Soeri – ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta) bersama dengan pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi persepakbolaan kebangsaan, yang selanjutnya di lakukan juga pematangan gagasan tersebut di kota Bandung, Yogya dan Solo yang dilakukan dengan tokoh pergerakan nasional seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A Hamid, Soekarno (bukan Bung Karno), dan lain – lain. Sementara dengan kota lainnya dilakukan kontak pribadi atau kurir seperti dengan Soediro di Magelang (Ketua Asosiasi Muda).
Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil – wakil dari VIJ (Sjamsoedin – mahasiswa RHS); wakil Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB) Gatot; Persatuan Sepakbola Mataram (PSM) Yogyakarta, Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo; Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB) Solo Soekarno; Madioensche Voetbal Bond (MVB), Kartodarmoedjo; Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) E.A Mangindaan (saat itu masih menjadi siswa HKS/Sekolah Guru, juga Kapten Kes.IVBM) Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB) diwakili Pamoedji. Dari pertemuan tersebut maka, lahirlah PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) nama PSSI ini diubah dalam kongres PSSI di Solo 1950 menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang juga menetapkan Ir. Soeratin sebagai Ketua Umum PSSI.
Begitu PSSI terbentuk, Soeratin dkk segera menyusun program yang pada dasarnya “menentang” berbagai kebijakan yang diambil pemerintah Belanda melalui NIVB. PSSI melahirkan “stridij program” yakni program perjuangan seperti yang dilakukan oleh partai dan organisasi massa yang telah ada. Kepada setiap bonden/perserikatan diwajibkan melakukan kompetisi internal untuk strata I dan II, selanjutnya di tingkatkan ke kejuaraan antar perserikatan yang disebut “Steden Tournooi” dimulai pada tahun 1931 di Surakarta .

Kegiatan sepakbola kebangsaan yang digerakkan PSSI , kemudian menggugah Susuhunan Paku Buwono X, setelah kenyataan semakin banyaknya rakyat pesepakbola di jalan – jalan atau tempat – tempat dan di alun – alun, di mana Kompetisi I perserikatan diadakan. Paku Buwono X kemudian mendirikan stadion Sriwedari lengkap dengan lampu, sebagai apresiasi terhadap kebangkitan “Sepakbola Kebangsaan” yang digerakkan PSSI. Stadion itu diresmikan Oktober 1933. Dengan adanya stadion Sriwedari ini kegiatan persepakbolaan semakin gencar.

Lebih jauh Soeratin mendorong pula pembentukan badan olahraga nasional, agar kekuatan olahraga pribumi semakin kokoh melawan dominasi Belanda. Tahun 1938 berdirilah ISI (Ikatan Sport Indonesia), yang kemudian menyelenggarakan Pekan Olahraga (15-22 Oktober 1938) di Solo.
Karena kekuatan dan kesatuan PSSI yang kian lama kian bertambah akhirnya NIVB pada tahun 1936 berubah menjadi NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) dan mulailah dirintis kerjasama dengan PSSI. Sebagai tahap awal NIVU mendatangkan tim dari Austria “Winner Sport Club “ pada tahun 1936.
Pada tahun 1938 atas nama Dutch East Indies, NIVU mengirimkan timnya ke Piala Dunia 1938, namun para pemainnya bukanlah berasal dari PSSI melainkan dari NIVU walaupun terdapat 9 orang pemain pribumi / Tionghoa. Hal tersebut sebagai aksi protes Soeratin, karena beliau menginginkan adanya pertandingan antara tim NIVU dan PSSI terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian kerjasama antara mereka, yakni perjanjian kerjasama yang disebut “Gentelemen's Agreement” yang ditandatangani oleh Soeratin (PSSI) dan Masterbroek (NIVU) pada 5 Januari 1937 di Jogyakarta. Selain itu, Soeratin juga tidak menghendaki bendera yang dipakai adalah bendera NIVU (Belanda). Dalam kongres PSSI 1938 di Solo, Soeratin membatalkan secara sepihak Perjanjian dengan NIVU tersebut.

Soeratin mengakhiri tugasnya di PSSI sejak tahun 1942, setelah sempat menjadi ketua kehormatan antara tahun 1940 – 1941, dan terpilih kembali di tahun 1942.
Masuknya balatentara Jepang ke Indonesia menyebabkan PSSI pasif dalam berkompetisi, karena Jepang memasukkan PSSI sebagai bagian dari Tai Iku Kai, yakni badan keolahragaan bikinan Jepang, kemudian masuk pula menjadi bagian dari Gelora (1944) dan baru lepas otonom kembali dalam kongres PORI III di Yogyakarta (1949).

•  Perkembangan PSSI
Pasca Soeratin ajang sepakbola nasional ini terus berkembang walaupun perkembangan dunia persepakbolaan Indonesia ini mengalami pasang surut dalam kualitas pemain, kompetisi dan organisasinya. Akan tetapi olahraga yang dapat diterima di semua lapisan masyarakat ini tetap bertahan apapun kondisinya. PSSI sebagai induk dari sepakbola nasional ini memang telah berupaya membina timnas dengan baik, menghabiskan dana milyaran rupiah, walaupun hasil yang diperoleh masih kurang menggembirakan.
Hal ini disebabkan pada cara pandang yang keliru. Untuk mengangkat prestasi Timnas, tidak cukup hanya membina Timnas itu sendiri, melainkan juga dua sektor penting lainnya yaitu kompetisi dan organisasi, sementara tanpa disadari kompetisi nasional kita telah tertinggal.

Padahal di era sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat internasional sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani.
Dalam perkembangannya PSSI sekarang ini telah memperluas jenis kompetisi dan pertandingan yang dinaunginya. Kompetisi yang diselenggarakan oleh PSSI di dalam negeri ini terdiri dari :
•  Divisi utama yang diikuti oleh klub sepakbola dengan pemain yang berstatus non amatir.
•  Divisi satu yang diikuti oleh klub sepakbola dengan pemain yang berstatus non amatir.
•  Divisi dua yang diikuti oleh klub sepakbola dengan pemain yang berstatus non amatir.
•  Divisi tiga yang diikuti oleh klub sepakbola dengan pemain yang berstatus amatir.
•  Kelompok umur yang diikuti oleh klub sepakbola dengan pemain:
•  Dibawah usia 15 tahun (U-15)
•  Dibawah usia 17 tahun (U-170
•  Dibawah Usia 19 tahun (U-19)
•  Dibawah usia 23 tahun (U-23)
•  Sepakbola Wanita
•  Futsal.


PSSI pun mewadahi pertandingan – pertandingan yang terdiri dari pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak perkumpulan atau klub sepakbola, pengurus cabang, pengurus daerah yang dituangkan dalam kalender kegiatan tahunan PSSI sesuai dengan program yang disusun oleh PSSI. Pertandingan di dalam negeri yang diselenggarakan oleh pihak ketiga yang mendapat izin dari PSSI. Pertandingan dalam rangka Pekan Olahraga Daerah (PORDA) dan pekan Olah Raga Nasional (PON). Pertandingan – pertandingan lainnya yang mengikutsertakan peserta dari luar negeri atau atas undangan dari luar negeri dengan ijin PSSI.

Kepengurusan PSSI pun telah sampai ke pengurusan di tingkat daerah – daerah di seluruh Indonesia . Hal ini membuat Sepakbola semakin menjadi olahraga dari rakyat dan untuk rakyat.

Dalam perkembangannya PSSI telah menjadi anggota FIFA sejak tanggal 1 November 1952 pada saat congress FIFA di Helsinki. Setelah diterima menjadi anggota FIFA, selanjutnya PSSI diterima pula menjadi anggota AFC (Asian Football Confederation) tahun 1952, bahkan menjadi pelopor pula pembentukan AFF (Asean Football Federation) di zaman kepengurusan Kardono, sehingga Kardono sempat menjadi wakil presiden AFF untuk selanjutnya Ketua Kehormatan.

Lebih dari itu PSSI tahun 1953 memantapkan posisinya sebagai organisasi yang berbadan hukum dengan mendaftarkan ke Departement Kehakiman dan mendapat pengesahan melalui SKep Menkeh R.I No. J.A.5/11/6, tanggal 2 Februari 1953, tambahan berita Negara R.I tanggal 3 Maret 1953, no 18. Berarti PSSI adalah satu – satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam berita Negara sejak 8 tahun setelah Indonesia merdeka.

Kursus Wasit FIFA Futuro Digelar Di Jakarta



Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) memberikan kepercayaan kepada Indonesia untuk menjadi tuan rumah dari Kursus Instruktur Wasit Futuro III wilayah Asia zone Asia Tenggara, yang akan dilangsungkan pada 17 hingga 22 Juli ini di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta. 

Futuro III Refereeing Instructor Course ini diikuti 36 peserta dari delapan negara Asia Tenggara, termasuk delapan peserta dari Indonesia. Ke-36 peserta akan mengikuti tiga jenis kursus, yakni kursus intruktur teknis (technical instructor course), kursus administrasi (administrators course), dan kursus intruktur fitness (fitness instructors course). 

Kursus instruktur wasit diikuti oleh 16 peserta, yang empat diantaranya dari Indonesia, yakni Yulius Dede, R.Pracoyo, Hariyanto dan Heru Sugiri. Peserta kursus intruktur wasit lainnya adalah Tuy Bunheoun (Kamboja), Sommay Sayaunh-Thongpaseuth Phonesirignavong (Laos), Nasarudin Ishak-Selearajan Subramaniam (Malaysia), Dennisa A.Estaniel-Mario E.Garovillo (Filipina), Nazeer Hussain Mohamed Haniffa (Singapura), Pongsathorn Permpanich-Ekachai Tanadderenkao (Thailand), Duong Van Hien-Dang Thanh Ha (Vietnam). 

Kursus untuk instruktur wasit ini akan digelar 17 hingga 22 Juli. Di sela-sela kursus bagi instruktur wasit, dilaksanakan kursus administrasi perwasitan pada 17-19 Juli, yang diikuti delapan peserta. Yakni, Bambang Irianto-Yesayas Leihitu (Indonesia), Chhun Try (Kamboja), Kamarudhin Shakhari (Malaysia), Montano M.Mondia III (Filipina), Abdul Razak Anuar (Singapura), Choochai Buaboocha (Thailand), dan Nguyen Van Mui (Vietnam). 

Untuk kursus intruktur fitness, yang dilaksanakan 20-22 Juli, pesertanya juga delapan orang, termasuk dua dari Indonesia, Purwanto dan Jajat Sudrajat. Enam peserta lainnya adalah, Tuy Vichhika (Kamboja), Visith Sengamphanh (Laos), Ravichandran Chappanimutu (Malaysia), Jaime G.Nicolau III (Filipina), Satop Tongkhan (Thailand), dan Pham Chiu Thien (Vietnam). 

Keseluruhan materi pada ketiga jenis kursus ini akan diberikan oleh sembilan instruktur wasit dari FIFA dan AFC. Yakni, Fernando Tressaco Gracia (FIFA Refereeing Development Senior Manager), Azimi Abdullah (FIFA Refereeing Development Officer), Neole Barry (FIFA Instructor), Nobaru Ishiyama (FIFA Technical Instructor), Mohammad Radzali Yacob (FIFA Technical Instructor), Bart Gillis (FIFA Fitness Instructor), Ahmad Khalidi Supian (FIFA Fitness Instructor), Salman Hassen Al Hazmi (FIFA Fitness Instructor), dan Ameez Mohammed (AFC Representative). 

Materi lisan atau tertulis disampaikan seluruhnya di Hotel Atlet Century Park, sementara untuk praktek dilakukan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan. 

Para peserta dan instruktur dari FIFA sudah berdatangan ke Jakarta pada hari Kamis (15/7), kecuali Azimi Abdullah yang sudah sejak Rabu siang sudah tiba dari Kuala Lumpur, Malaysia. Azimi datang lebih awal untuk mempersiapkan tempat dan mengurusi barang-barang keperluan kursus yang dikirim oleh FIFA.(adi) 

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme